7 Apr 2010

Ancaman Lunturnya Kultur Nelayan

Suara Merdeka/Jepara/7 April 2010.
Kota-Sholikul Hadi sudah puluhan tahun menjadi nelayan, namun akhir-akhir ini Ia menemui fenomena lain dikampungnya, Desa Jambu RT 28 RW 6 kecamatan Mlonggo. Sebagian istri nelayan sudah tak bisa lagi mengandalkan pendapatan suami dari hasil melaut karena bertambah hari kian banyak hutang menumpuk.
Diantara tetangga dekatnya sebagian istri nelayan itu memilih pergi meninggalkan keluarga dengan memilih menjadi tenaga kerja wanita (TKW) keluar negeri karena impitan ekonomi.
"Dalam dua bulan terakhir sudah ada tetangga saya yang berangkat ke Malaisyia, Singapura dan Arab Saudi dengan menjadi TKW," ungkap Sholikul Hadi dalam diskusi memperingati Hari Nelayan,6 April di Kantor Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU lantai 3 Jl. Pemuda No 51, Selasa(6/4)
Diskusi itu juga dihadiri Mayadina Rahma Musfiroh MA (Direktur Lakpesdam NU), Sukarman SH (Dewan Presidium Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Andi Setiyono (Lembaga Pengabdian Hukum Yaphi), serta beberapa nelayan dari Forum Nelayan (Fornel) Jepara utara.
sholikul mengungkapkan, para istri nelayan memilih menjadi TKW setelah dirundung utang jutaan rupiah dari rentenir. "Hutang keluarga nelayan itu tidak untuk membangun rumah, melainkan untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari". ujar dia yang juga sesepuh Kelompok Nelayan Mina Kencana Desa Jambu, Bahkan berdasarkan pendataannya diluar rukun tetangga tempat ia tinggal, para istri nelayan yang sudah menjadi TKW itu ada puluhan orang. Sebelum memutuskan berangkat ke luar negeri, mereka biasanya mengandalkan ikan hasil tangkapan suaminya unytuk dijual, namun karena merosotnya pendapatan, mereka memilih meninggalkan kultur bekerja di pesisir layaknya istri nelayan kebanyakan di Jepara.
Sholikul datang ke diskusi memperingati hari nelayan itu karena merasa ada yang perlu diungkapkan terkait kondisi nelayan tradisional yang masih jauh dari sejahtera."Dalam enam tahun terakhir kami merasakan merosotnya pendapatan. Dulu sekali berangkat bisa mendaptkan 15 kilogram ikan berbagai jenis, kini tinggal separonya." ungkap dia.
Dia bercerita, pada Minggu (5/4) malam berangkat melaut, dengan menyiapkan segala perbekalan senilai Rp. 70.000.Namun ia hanya gigit jari karena smalaman hanya mendapatkan satu ikan tongkol yang dijual hanya laku Rp.15.000, "seperti itulah nelayan, kadang mendapat cukup, tapi sering juga merugi,"kata dia.
Tak hanya kondisi rumah tangga nelayan yang ia ungkap, tapi juga prihal kebijakan perlunya revitalisasi tempat pelelangan ikan (TPI). di Jepara terdapat 13 TPI yang tersebar di delapan kecamatan.Penelusuran nelayan yang tergabung pada Forum Nelayan Jepara Utara (Fornel), dari 13 TPI itu,terdapat tiga TPI yang dalam 10 tahun terakhir tak ada aktivitas. Disamping ada satu TPI yang dikelola desa, yakni TPI Bringin Desa Bumiharjo.
Dia menyatakan digaris pesisir pantai Jepara dan Karimunjawa, terdapat 27 kampung ataupun desa dengan basis mayoritas masyarakatnya nelayan. Mereka menggantungkan ekonomi keluarga pada hasil penangkapan ikan, sebagian dijual ke TPI, namun banyak yang langsung menjual ke bakul ikan tidak lewat TPI.
Tertabrak Kapal
Sementara Daryono berharap ada solusi atas seringnya jaring nelayan tertabrak kapal batu bara PLTU Tanjung Jati B.Ia menyebutkan pada 24-25 Maret ada jaring milik 11 nelayan yang tertabrak dimalam hari hingga rusak parah.Sementara nelayan masih berhadapan dengan persoalan birokrasi untuk mengurusnya.belum ada kesepahaman di lapangan soal rute dan waktu kedatangan kapal agar jaring nelayan yang menjadi korbanya.(JS/Badiul) 

Tidak ada komentar: